Kopi Organik Gayo Yang Memikat Dunia
Kopi Organik Gayo: Aromanya Memikat Dunia
Kopi Organik Gayo |
Udara dingin menyambut kedatangan kami saat mendarat di
bandara Rembele Bener Meriah-Aceh setelah menempuh penerbangan selama 1 jam
dari Medan. Sejauh mata memandang, terlihat perkebunan kopi yang terhampar di pegunungan
di Tanah Gayo ini. Kopi menjadi sumber pendapatan utama masyarakat Aceh Tengah
dan Bener Meriah. Perputaran uang dari kopi di kawasan ini diperkirakan
mencapai lebih dari satu trilyun rupiah setahunnya. Salah satu pesona tanah Gayo
ini adalah Danau Laut Tawar yang terletak di kota Takengon, ibu kota propinsi
Aceh Tengah, yang juga merupakan sentra kegiatan ekonomi di Kabupaten Aceh
Tengah dan Bener Meriah. Untuk mencapai kota ini, terdapat dua alternatif cara,
yaitu melalui jalan darat selama 8-10 jam dan melalui udara selama 1 jam,
keduanya ditempuh dari Banda Aceh atau Medan.
Selain keindahan alamnya dan
keramahan masyarakat Gayo yang berbaur dengan masyarakat keturunan Jawa dan
Aceh, aroma kopi arabika Gayo juga menarik investor nasional dan internasional
untuk berusaha ke sana. Sebut saja PT. Indo CafCo (Ecom Group-Perancis), PT.
Sarimakmur Tunggal Mandiri, PT. Menakom, Forestrade (AS), yang berkantor di
Medan dan Padang. Perusahaan-perusahaan ini merupakan pemasok kopi ke pasar
dunia, seperti Starbucks, Utz Kapeh dan pasar fair trade. Lokasinya yang berada
di ketinggian di atas 1.100 meter dpl, menjadikan tempat ini cocok untuk
perkebunan kopi arabika. Pantas saja, bila kopi Gayo masuk dalam peta kopi
arabika dunia, termasuk kopi organik.
Ditanam Secara Tradisional
Perkebunan
kopi organik milik rakyat berada di lereng-lereng bukit yang terjal, ditanam
secara tumpangsari dengan tanaman lamtoro, jeruk, dan alpukat sebagai tanaman
peneduh dan pencegah erosi. Usia rata-rata tanaman kopi berkisar 10 tahun,
bahkan banyak juga yang berusia lebih dari 30 tahun. Tanaman kopi arabika
didominasi oleh jenis Ateng, Timtim dan Jember. “Lamtoro baik untuk tanaman
kopi. Akarnya membantu kesuburan tanah dan mencegah erosi. Kalau daunnya baik
bagi peneduh tanaman kopi,” ucap Andi Hamdani, petani kopi di desa Pondok Baru,
Bener Meriah. “Selain sebagai peneduh, jeruk dan alpukat bisa buat celengan di
musim paceklik kopi, dan dijual di pasar lokal,” tambahnya. Bulan Juni hingga
Agustus merupakan musim paceklik kopi, dan produksi kopi menurun drastis. “Di
musim paceklik, saya bisa memperoleh 3 kaleng gabah (parchment) kopi dalam 15
hari. Tapi kalau pas panen raya, bisa memperoleh 40 kaleng gabah dalam 15
hari,” tambah Julmansyah yang memiliki sekitar 2000 pohon kopi diluas lahan 1
ha miliknya. Satu kaleng gabah kopi setara dengan 10 bambu atau 11 kg gabah.
Umumnya petani menggunakan satu bambo (1 bambu=1,1-1,2kg) atau kaleng.
Panen raya biasa terjadi pada bulan September hingga Desember setiap tahunnya.
Bulan Januari hingga Mei, petani tetap panen meskipun jumlahnya tidak sebesar
panen raya. Harga kopi di tingkat petani mengikuti harga dunia yang dipatok
dengan dolar. “Saat krisis tahun 1997- 1998, petani di sini makmur - makmur.
Saat itu, tiap petani mampu membelikan kereta (motor-red) buat anak-anaknya,”
menurut Heri yang merupakan rekan Julmansyah dan Suwari menjelaskan. Saat ini
harga kopi berkisar Rp.9.000-10.500/bambo gabah kopi di tingkat petani.
Sementara biji kopi di tingkat pengumpul mencapai harga Rp. 18.000- 19,500/kg
dengan kadar air 18%.
Budidaya kopi rakyat dilakukan turun temurun. Mengikuti model perkebunan
Belanda, jarak tanam antara tanaman kopi sekitar 2-3 meter, di bawah naungan
lamtoro yang berjarak antara 10 meter. Semakin berlereng, jarak tanaman lamtoro
semakin rapat untuk mencegah erosi. Dan setiap pangkal batang kopi terdapat
lubang yang berjarak sekitar 0,5 meter (petani setempat menyebutnya “lubang
angin”-red) untuk mengkomposkan daun-daun, gulma dan kulit kopi yang telah
busuk, bahkan kotoran ternak. “Lubang angin dibuat agar kompos yang kita buat
'gak lari terbawa air, tetapi tertahan di lubang angin dekat tanaman kopi yang
berada lebih miring di bawahnya,” jelas Lasmirah .
“Kalau ada jamur batang atau penggerek batang, biasanya kita pangkas batang
kopi yang terkena penyakit. Payahnya kalau tanaman kopi terkena penyakit jamur
akar, petani 'gak ada pilihan selain mencabutnya dan mengganti dengan tanaman
baru,kata Andi Hamdani petani kopi di desa Pondok Baru,Bener Meriah
Banyak sekali hewan- hewan yang dapat ditemukan di kebun-kebun petani. “Selain
burung, banyak ditemukan musang, tupai, labalaba, kadal, ular, dan monyet. Babi
biasanya muncul menjelang magrib dan malam hari. Babi senang menggali tanah di
bawah tanaman kopi, kadang membuat tanah longsor. Tetapi beberapa petani juga
senang kebunnya kedatangan babi, karena membantu kesuburan tanah,” tambah
Sumiran. “Buah yang berlubang yang didalamnya ada kutu hitam membuat biji kopi
rusak dan susut beratnya. Penyakit ini yang susah diatasi petani,” kata Sumiran
menjelaskan serangan penyakit Penggerek Buah Kopi (PBKo) yang disebabkan oleh
kumbang (Hypothenemus hampei).
Dari hasil pengamatan di lapangan, ada beberapa petani yang sudah mulai
menggunakan perangkap (trap) berwarna merah yang dilumuri lem (mengandung
hormon seksual serangga-feromon) sehingga kumbang tertarik dan terperangkap ke
alat tersebut. “Petani membiarkan buah yang berlubang. Buah tersebut akan tetap
memerah dan dikutip (dipetik-red) seperti buah kopi yang masak. Buah yang
berlubang dipisahkan saat pencucian gabah setelah digiling. Biasanya, buah yang
berlubang hitam itu akan mengambang bila dicuci, lalu dipisahkan,” jelas Andi
Hamdani petani di Pondok Baru.
Saat panen raya, dari pagi hingga sore hari jemuran biji kopi memenuhi
jalan-jalan desa dan halaman rumah atau mesjid. Petani sudah meninggalkan
menjemur biji kopi tanpa dialasi. Mereka menggunakan terpal untuk penjemuran.
Sementara di kebun-kebun kopi nampak kesibukan para pemetik kopi dan pemilik
kebun memetik dan mengangkut buah kopi dari lahan. “Sulit mencari pekerja saat
panen raya kopi, semua orang sibuk dengan kebunnya masingmasing,” kata M.
Salam. Masyarakat Aceh Tengah dan Bener Meriah minimal memiliki 0,5 ha kebun
kopi, sehingga pada siang hari saat panen raya, sulit menjumpai petani di
rumah.
Perkebunan dan segelas kopi
Buah-buah kopi yang masak dipetik di lahan. Kadang di lereng bukit yang curam,
pemetik kopi dengan lincah berpindah dari satu batang kopi ke batang lainnya.
Lahan-lahan kopi organik umumnya berada di perbukitan terjal, berjarak sekitar
1-2 km dari perkampungan. Banyak kebun-kebun tersebut tidak dapat dilewati oleh
motor, sehingga petani harus memanggul buah kopi hingga ke jalan raya terdekat,
kemudian baru di angkut dengan motor menuju rumah.
Untuk memisahkan kulit kopi dari bijinya, kopi digiling terlebih dahulu, Hampir
setiap rumah di tanah Gayo ini memiliki penggilingan kopi baik yang digerakan
oleh dinamo atau tenaga manusia. Setelah terpisah dari kulitnya, biji kopi
masih banyak mengandung lendir, maka biji-biji kopi tersebut harus dicuci
dengan air berulang kali hingga lendirnya hilang. Kemudian biji kopi tersebut
di jemur selama 1-2 hari dalam cuaca panas terik hingga mencapai kadar air
16%-18% (gabah). Setelah kering, barulah biji-biji kopi tersebut disangrai
(digoreng tanpa minyak) lalu ditumbuk atau digiling sampai halus hingga menjadi
bubuk. Bubuk kopi inilah yang siap untuk diseduh dan dinikmati.
Kadar kafein kopi robusta dua kali lipat lebih tinggi dibanding kopi arabika,
namun orang Indonesia lebih menyukai kopi robusta ketimbang kopi arabika. Kata
penikmat kopi, rasanya lebih pas. Oleh sebab itu maka kopi arabika yang dibuat
untuk konsumsi rumah tangga di Tanah Gayo, biasanya akan dicampur dengan kopi
robusta.
Bila kopi untuk ekspor, petani menjual biji kopi (gabah) ke pengumpul yang
berada di tiap desa. Lalu gabah tersebut dikeringkan kembali di bawah sinar
matahari hingga kadar airnya 15-18%. Kopi berkadar air sebesar ini siap dijual
ke pengumpul besar untuk dikeringkan hingga berkadar air kurang dari 13 persen.
Lalu biji kopi di-huller, di-sortir dan dikemas untuk siap ekspor. (Andi Ramdani)